[www.uinsgd.ac.id] Rektor UIN Sunan Gunung Djati
Bandung, Prof. Dr. H. Deddy Ismatullah, SH., M.Hum membeberkan
interpretasinya tentang UU Sistem Pendidikan Nasional saat diminta
menjadi pembicara pada diskusi yang diselenggarakan oleh Fraksi Partasi
Persatuan Pembangunan (FPPP) DPR RI di Gedung Nusantara I Jakarta,
Jum’at (09/03/2012).
Diskusi yang bertajuk " Mencari Interpretasi Terhadap UUD 1945, Pasal
31 Ayat (3) tentang Satu Sistem Pendidikan Nasional" ini
diselenggarakan untuk menanggapi isu tentang adanya penyatuan lembaga
pendidikan yang tercantum dalam RUU Pendidikan yang rencananya akan
disahkan pada akhir Masa Sidang sekarang. Namun dalam pembahasannya RUU
ini masih menyisakan pertanyaan bagi masyarakat, akankah RUU ini sesuai
dengan semangat bangsa yang ingin memberikan kemudahan akses bagi
seluruh anak bangsa dalam mendapatkan pendidikan yang berkualitas dan
terjangkau.
Selain Rektor UIN Sunan Gunung Djati sebagai
pembicara, hadir pula Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie (Guru Besar Hukum Tata
Negara Universtas Indonesia, Mantan Ketua MK), Prof. Dr. Dede Rosyada,
M.Si (Direktur Pendidikan Tinggi ISlam Kemenag), dan Dr. Reni
Marlinawati (Anggota Komisi X DPR RI Fraksi PPP).
Prof. Dedi
mengungkapkan bahwa yang dimaksud dengan sistem merupakan kesatuan
komponen yang saling berkaitan dan saling berinteraksi untuk mencapai
suatu hasil yang diharapkan secara optimal sesuai dengan tujuan yang
telah ditetapkan. Menurutnya ada tiga hal penting yang menjadi
karakteristik "Satu sistem pendidikan", yaitu: tujuan, proses, dan
Keterlibatan berbagai komponen pendukung proses. Hal Senada juga
diungkapkan oleh Prof. Dede Rosyada. Sedangkan Prof. Jimly mengungkapkan
bahwa makna "Satu Sistem Pendidikan" adalah bukan penyeragaman,
melainkan ada keragaman di dalamnya. Satu Sistem Pendidikan merupakan an
integrated system of education, bukan a uniform system of education.
Oleh karena itu, penyelenggara pendidikan dimungkinkan dilaksanakan oleh
siapapun. Sementara itu
Sementara Dr. Reni Marlinawati
mengungkapkan dengan mengutip Nurcholish Madjid, seandainya negeri kita
ini tidak mengalami penjajahan, tentulah pertumbuhan sistem pendidikan
di Indonesia akan mengikuti jalur-jalur yang ditempuh
pesantren-pesantren itu. Sehingga perguruan tinggi tidak akan berupa UI,
IPB, ITB, UGM, UNAIR dan lain-lain, tetapi mungkin ‘universitas’
Tremas, Krapyak, Tebuireng, Bangkalan, Lasem dan seterusnya.
Menurut
pandangan Rektor Deddy, secara filosofis makna sistem pendidikan adalah
terhimpunnya komponen-komponen tertentu yang bergerak secara dinamis
untuk mencapai tujuan pendidikan nasional, sedangkan secara psikologis,
satu sistem pendidikan nasional adalah kebersamaan masyarakat dalam
melaksanakan kegiatan pendidikan untuk membentuk jatidiri mereka yang
berilmu, berakhlak, dan memiliki kecakapan pengetahuan.
“Sedangkan secara sosio-birokratis, pendidikan di Indonesia
dijalankan oleh berbagai lembaga. Beberapa sistem pendidikan vokasional
dilaksanakan oleh lembaga-lembaga tertentu, seperti kementerian
pariwisata dan ekonomi kreatif yang mendirikan Sekolah Tinggi Pariwisata
Bandung, Kementerian Dalam Negeri mendirikan Sekolah Tinggi
Pemerintahan Dalam Negeri, dan beberapa sekolah tinggi kedinasan yang
diselenggarakan leh beberapa kementerian lainnya,”Papar Rektor.
Dalam kesimpulannya, Rektor menyampaikan bahwa pemaknaan sistem
pendidikan dengan pengertian satu atau tidak memenuhi makna filosofis,
sosiologis, dan sosio-birokratis. Sehubungan dengan itu, pengertian
sistem pendidikan harus dipahami dalam konteks filosofis, sosiologis,
dan sosio-birokratis.
“Oleh sebab itu penyeragaman sisdiknas dalam satu atap kemungkinan
akan menimbulkan kerawanan sosiologis dan politis, bukan interpretasi
akurat, sehingga perumusan konstitusi pendidikan harus mempertimbangkan
banyak aspek, supaya tidak menyisakan permasalahan di kemudian
hari,”pungkas Rektor. [dudi, ibn ghifarie, utang]